Para peneliti pada Universitas Institute for Photonics & Advanced Sensing
(IPAS) telah menemukan bahwa cahaya didalam fiber optik dapat ditekan
ke dalam ruang yang lebih sempit lagi yang mana sebelumnya dianggap
mungkin. Fiber optic biasanya berperan sebagai pipa bagi cahaya,
dengan cahaya yang memantul dalam pipa tersebut. Sebagaimana anda
menyusutkan ukuran fiber tersebut maka cahaya menjadi lebih dan lebih
terbatas, sampai anda mencapai batas akhir – titik dimana cahaya tidak
dapat ditekan ke dalam bentuk yang terkecil.
Batas akhir ini
muncul saat untaian kaca hanya bediameter mendekati seratus nanometer,
sekitar sepeeribu ukuran dari rambut manusia. Jika anda meneruskan
sampai ukuran terkecil dari ini maka cahaya mulai tersebar kembali. Para peneliti di Adelaide telah menemukan bahwa mereka dapat menekan melampaui batasan tersebut dengan setidaknya dua faktor. Mereka
dapat melakukan hal ini dikarenakan terobosan baru dalam pemahaman
teoritikal tentang bagaimana cahaya berperilaku pada skala nano, dan
bersyukur kepada penggunaan generasi skala nano pada fiber optik yang
sedang dikembangkan di Institut ini. Penemuan ini diharapkan
menuntun pada lebih efisiennya peralatan bagi pemrosesan data optic di
bidang jaringan pertelekomunikasian dan perkomputeran optik dan sama
halnya dengan sumber cahaya baru.
Rekan peneliti dari IPAS yaitu
Dr Shahraam Afshar telah membuat penemuan ini selangkah ke depan pada
saat peluncuran sekarang ini di institut baru Institute for Photonics & Advanced Sensing. Pemerintahan Australia yaitu Pemerintah Australia Selatan bidang Defence Science & Technology Organisation (DSTO), Defence SA
dan Universitas Adelaide telah berkomitmen untuk berkombinasi total
dengan lebih dari $38 juta unutk mendukung pembangunan institut baru
ini. IPAS merupakan pemimpin dunia di bidang ilmu dan aplikasi
cahaya, yang mengembangkan sinar laser unik, fiber optik dan beberapa
sensor untuk mengukur berbagai macam aspek di dunia sekitar kita. Fokus
yang kuat dari institute baru ini adalah berkolaborasi dengan bidang
penelitian lainnya untuk menemukan solusi bagi berbagai bidang
permasalahan.
“Dengan kemampuan menggunakan fiber optic kami
sebagai sensor – ketimbang hanya menggunakan mereka sebagai pipa untuk
mengirimkan cahaya – kami dapat mengembangkan peralatan, sebagai contoh
dapat dengan mudah mendeteksi keberadaan virus flu di bandara; dapat
membantu para spesialis IVF (fertilisasi buatan/in vitro) untk
menentukan telur mana yang harus dipilih untuk fertilisasi; dapat
memperkirakan keamanan air minum; atau dapat mengingatkan tim
pemeliharaan akan adanya karatan yang muncul di struktur pesawat
terbang,” kata Professor Tanya Monro, Federation Fellow di Universitas Adelaide dan Direktur IPAS.
Professor Monro mengatakan bahwa temuan Dr Afshar merupakan “suatu terobosan fundamental dalam ilmu cahaya “. Peneliti
IPAS lainnya yaitu Dr Yinlan Ruan baru – baru ini telah menciptakan apa
yang dianggap sebagai lubang terkecil di dunia di dalam fiber optik –
hanya berdiameter 25 nanometer.
“Terobosan ini berkaitan langsung
dengan pekerjaan yang kita lakukan untuk mengembangkan sensor berskala
nanodan mereka adalah contoh yang sempurna dari budaya keungulan
penelitian yang berada pada anggota tim kami,” jelas Professor Monro.
“Mereka
memudahkan kita ntuk memelajari aplikasi cahaya pada skala yang lebih
kecil yang mana kita pernah anggap mungkin. Hal ni akan membantu kita
untuk memeahami dengan baik dan menyelidiki dunia kita bahkan pada
dimensi yang teramat kecil.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar